Sabtu, 17 April 2010

DEMOKRASI DAN DEMONSTRASI (UNJUK RASA / PENYAMPAIAN PENDAPAT)

A. Definisi dan Pengertian Demokrasi dan Demonstrasi

1. Demokrasi

Istilah demokrasi berasal dari Yunani Kuno pada kurang lebih abad ke-5 sebelum masehi. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan perkembangan sistem demokrasi di berbagai negara. Kata demokrasi sendiri berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos/cratein yang berarti rakyat, sehingga demokrasi secara etimologi diartikan sebagai pemerintahan rakyat, yaitu keadaan negara di mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat, dan kekuasaan oleh rakyat, atau yang kini lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat.

Selanjutnya, pengertian demokrasi secara teminologis (istilah) menurut beberapa tokoh adalah sebagai berikut :

a. Joseph A. Schmeter, demokrasi merupakan perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas sura rakyat.

b. Sidney Hook, demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat.

c. Pilippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl, demokrasi sebagai sistem pemerintahan di mana pemerintah diminta tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan para wakil mereka yang telah dipilih.

d. Affan Gaffar, demokrasi memiliki arti normatif (hendak dilakukan oleh negara) dan arti empirik (diwujudkan dalam dunia politik praktis).

e. Carol C. Gould, demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang di dalamnya rakyat memerintah sendiri, baik melalui partisipasi langsung dalam merumuskan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka maupun dengan cara memilih wakil-wakil mereka.

f. Abraham Lincoln, demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Menyimpulkan dari beberapa definisi di atas, penulis beranggapan bahwa secara umum, demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang dibangun oleh suatu negara untuk mencapai suatu kedaulatan rakyat.

2. Demonstrasi

Demonstrasi memiliki banyak definisi dan pengertian yang berbeda-beda jika ditilik dari sudut pandang yang berbeda. Demonstrasi dapat diartikan sebagai suatu aksi peragaan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk menunjukkan cara kerja, cara pembuatan, maupun cara pakai suatu alat, material, atau obat jika ditilik dari sudut pandang perdagangan maupun sains.

Akan tetapi, di sini, penulis menggunakan definisi demonstrasi dalam konteksnya sebagai salah satu jalur yang ditempuh untuk menyuarakan pendapat, dukungan, maupun kritikan, yaitu suatu tindakan untuk menyampaikan penolakan, kritik, saran, ketidakberpihakan, dan ketidaksetujuan melalui berbagai cara dan media dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan baik secara tertulis maupun tidak tertulis sebagai akumulasi suara bersama tanpa dipengaruhi oleh kepentingan pribagi maupun golongan yang menyesatkan dalam rangka mewujudkan demokrasi yang bermuara pada keadaulatan dan keadilan rakyat. Menurut UU Nomor 9 Tahun 1998, pengertian demonstrasi atau unjuk rasa adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih, untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya secara demonstratif dimuka umum. Namun, dalam perkembangannya sekarang, demonstrasi kadang diartikan sempit sebagai long-march, berteriak-teriak, membakar ban, dan aksi teatrikal. Persepsi masyarakat pun menjadi semakin buruk terhadap demonstrasi karena tindakan pelaku-pelakunya yang meresahkan dan mengabaikan makna sebenarnya dari demonstrasi. Hal inilah yang akan penulis bahas pada bab-bab selanjutnya.

B. Aturan Hukum Terkait dengan Demokrasi dan Demonstrasi

Salah satu dari 10 prinsip dasar demokrasi Pancasila yang dianut oleh negara Indonesia adalah demokrasi yang berkedaulatan rakyat, yaitu demokrasi di mana kepentingan rakyat harus diutamakan oleh wakil-wakil rakyat, rakyat juga dididik untuk ikut bertanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kebebasan menyampaikan pendapat merupakan bagian dari implementasi prinsip dasar tersebut, oleh karena itu kebebasan mendapat di muka umum dijamin oleh :

1. Undang-Undang Dasar 1954 (Amandemen IV)

- Pasal 28, ”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”

- Pasal 28 E Ayat 3, ”Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

2. Ketetapan MPR no XVV/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19

”Setiap orang berhak atas kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

3. UU Nomor 9 Tahun 1998 Pasal 2

”Setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.” Undang-undang ini mengatur tentang :

a. Konsep Dasar dan Asas

Konsep dasarnya adalah :

- Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara.

- Unjuk rasa atau demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih, untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya secara demonstratif dimuka umum.

- Pawai adalah cara penyampaian pendapat dengan arak-arakan di jalan umum..

- Mimbar bebas adalah kegiatan menyampaikan pendapat di muka umum secara bebas dan terbuka tanpa tema tertentu.

Asasnya adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban, musyawarah mufakat, kepastian hukum dan keadilan, proposionalitas, serta asas manfaat.

b. Hak dan Kewajiban

Hak dan kewajiban warga negara adalah :

- Mengeluarkan pikiran secara bebas.

- Memperoleh perlindungan hukum.

- Menghormati hak-hak kebebasan orang lain.

- Menghormati aturan-atauran moral umum yang dihormati.

- Menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

- Menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum.

- Menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.

Hak dan kewajiban aparatur negara adalah :

- Melindungi Hak Asasi Manusia.

- Menghargai asas legalitas.

- Menghargai prinsip praduga tak bersalah.

- Menyelengarakan pengamanan.

c. Bentuk-bentuk Penyampaian Pendapat

- Unjuk rasa atau demonstrasi.

- Pawai.

- Rapat umum.

- Mimbar bebas.

d. Tata Cara Pemberitahuan Kegiatan

- Penyampain pendapat di muka umum dalam bentuk unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum dan mimbar bebas wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri. Pemberitahuan disampaikan oleh yang bersangkutan, pemimpin atau penangung jawab kelompok. Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana di atas, tidak berlaku bagi kegiatan-kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan.

- Pemberitahuan dilakukan selambat-lambatnya 3x24 ( tiga kali dua puluh empat) jam sebelum kegiatan dimulai dan telah diterima oleh Polri setempat.

e. Surat Pemberitahuan

Surat pemberitahuan ini mencakup :

- Maksud dan tujuan.

- Tempat, lokasi, dan rute.

- Waktu dan lama.

- Bentuk.

- Penangung jawab.

- Nama dan alamat organisasi, kelompok, atau perorangan.

- Alat peraga yang digunakan.

- Jumlah peserta.

f. Tanggung Jawab Polri

Setelah menerima surat pemberitahuan akan adanya aksi unjuk rasa, Polri wajib :

- Bertangung jawab dan memberikan perlindungan keamanan terhadap pelaku atau peserta unjuk rasa.

- Bertangungjawab menyelengarakan pengamanan untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum sesuai dengan prosedur yang berlaku.

C. Pendapat Mengenai Keterkaitan Demonstrasi dengan Demokrasi

1. Nurcholis Madjid

Dalam banyak pertemuan maupun seminar, Nurcholis Madjid atau yang lebih kita kenal sebagai Cak Nur selalu berbicara mengenai pentingnya membuat sebuah skema untuk menarik konsep nilai demokrasi yang abstrak menjadi lebih aplikatif untuk mempermudah dijabarkan serta diterapkan dalam kehidupan sosial-politik Indonesia. Menurutnya, ada 7 Prinsip Demokrasi yang sebenarnya layak dipikirkan untuk ditarik menjadi sebuah konsep yang lebih aplikatif dan bisa dijadikan sebagai tegaknya demokratisasi di Indonesia. Dua dari ketujuh prinsip tersebut adalah prinsip kebebasan nurani dan prinsip perlunya pendidikan demokrasi.

Menurut Cak Nur, prinsip pertama ingin meneguhkan egalitarianisme dan kesantunan politik yang pada intinya bahwa demokrasi menolak masyarakat yang terkotak-kotak dan saling mencurigai satu dengan yang lainnya. Sedangkan prinsip kedua menekankan bahwa prinsip ini memegang peran yang sangat penting. Apalagi dalam konteks kebangsaan kita sekarang yang sedang aktif-aktifnya belajar demokrasi. Menurutnya, demokrasi juga merupakan proses trial and error, proses coba salah dalam demokrasi merupakan hal yang sangat wajar apalagi jika suatu negara sedang berada dalam proses transisi demokrasi tersebut. Cak Nur juga menambahkan bahwa dalam konteks ini perlunya mengedapkan konsistensi dan kesabaran dalam menjalani demokratisasi, termasuk di dalamnya demonstrasi.

2. Achmad Nurdin

Menurut pemerhati masalah sosial, Achmad Nurdin, semenjak reformasi demokrasi bergulir yang dicetuskan Amien Rais cs beserta para mahasiswa, yang berhasil melengserkan Soeharto dan orde baru dan telah berjalan hampir 12 tahun, seharusnya mereka terus mengawal reformasi agar demokrasi tidak kebablasan. Saat ini sifat asli masyarakat Indonesia terlihat. Dengan karakter mudah meletup, emosi tinggi dalam mengemukakan pendapat saat berdemo, berlanjut dengan pengrusakan, kata Nurdin, bisa dikategorikan reformasi demokrasi jadi ngawur dan amburadul.

Lebih memalukan lagi, anggota dewan sebagai wakil rakyat memberikan contoh buruk. Disaksikan ratusan juta rakyat melalui media elektronik, anggota dewan yang katanya “terhormat” dalam sidang saling mencaci maki, naik ke atas meja, melempar botol minuman, banting-banting mikrofon dan nyaris terjadi anarkis. Perilaku seperti ini, kata Nurdin, apakah bisa dikatakan sebagai panutan atau contoh? Menurutnya, nyaris semua anggota dewan baik di DPR maupun DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota berperilaku seperti itu.

Berbeda ketika era orde lama. Meskipun di dalam sidang suasana panas, namun anggota dewan masih mempunyai sikap santun dan menghargai pendapat orang lain. Tidak seperti sekarang, ungkapnya, ketua belum selesai berbicara sudah diinterupsi. Begitupun dengan demo yang mengatasnamakan demokrasi, tapi di lapangan para demonstran berbuat liar dengan menutup jalan, merusak fasilitas umum, kantor pemerintahan, bahkan kantor polisi tak luput dari anarki pendemo.

Akibat semua itu yang rugi bukan hanya pemerintah saja, tetapi rakyat juga. Sebab, ekonomi menjadi tidak berjalan karena lalu lintas terganggu. Pekerja tidak masuk karena takut menjadi korban bila terjadi bentrokan antara aparat dan demonstran. “Apakah harus begini demo di era reformasi supaya suaranya didengar?” tanyanya. Menurut dia, alangkah eloknya bila demonstran mengemukakan pendapatnya tidak merusak, tertib dan mengutus perwakilan untuk melakukan dialog.

3. Muhammad Ilham

Menurut Muhammad Ilham, demonstrasi belakangan ini tidak lagi ditunggangi oleh hati nurani, tapi lebih kepada permainan elit politik untuk kepentingan politik instan. Pada dasarnya, apabila meninjau pada motif massa melakukan demonstrasi, maka secara umum demonstrasi dapat dilakukan dengan motif moral yang berusaha menyampaikan aspirasi, sesuai dengan nilai-nilai yang dirasakan oleh sebagian masyarakat yang diwakilinya. Sedangkan demonstrasi dengan motif politik, merupakan demonstrasi yang berusaha menyampaikan aspirasi, sesuai dengan kehendak golongan atau kalangan tertentu yang memiliki tujuan-tujuan tersendiri. Motif politik, dapat saja memanfaatkan isu atau permasalahan yang sedang dirasakan oleh masyarakat, tetapi demonstrasi ini telah dilakukan secara koordinatif oleh golongan yang memiliki tujuan tersendiri tersebut.

Berdemonstrasi adalah hak. Akan tetapi, semata mengagungkan demonstrasi sebagai satu-satunya cara yang efektif untuk menegur kekuasaan bukanlah pola pikiran dan kelakuan yang dapat memperkuat dimensi kelembagaan dalam berdemokrasi. Adalah juga kerisauan yang sangat substansial apabila demonstrasi kemudian dijadikan sebagai satu-satunya pilihan yang efektif untuk menyampaikan aspirasi kepada kekuasaan. Harus dikatakan memang ada yang hilang dalam 100 hari pemerintahan yang kedua ini. Hilang dalam waktu yang sangat pendek setelah bulan madu yang panjang--lima tahun pemerintahan pertama, hasil pemilu yang langsung dipilih rakyat--dan yang kemudian menang kembali untuk kedua kali dengan basis legitimasi yang sama kuatnya. Demonstrasi kemarin telah usai dengan damai dan pesan telah disampaikan. Pesan sangat penting, yaitu seruan publik untuk membangun kembali situasi saling percaya yang sempat hilang. Bukankah yang hilang dapat ditemukan kembali? Caranya, semua pihak membuat pendek jarak yang masih jauh antara kata dan perilaku.

D. Pendapat Penulis Mengenai Pelaksanaan Demonstrasi Mahasiswa Indonesia

”. . . Wahai kalian yang rindu kemenangan, wahai kalian yang turun ke jalan demi mempersembahkan jiwa dan raga untuk negeri tercinta.” (Totalitas Perjuangan)

Mungkin bagi kawan-kawan mahasiswa yang sering atau pernah turun ke jalan, mereka yang menyandang megafon dipundak dan dengan heroik meneriakkan seruan-seruan ketertindasan, perjuangan, bahkan hujatan, sudah tidak asing dengan dua larik syair lagu di atas. Totalitas perjuangan. Sebuah manifestasi seni dari luapan semangat mahasiswa Indonesia sebagai salah satu elemen masyarakat yang diberi hak untuk menyuarakan aspirasinya, tak lain dan tak bukan adalah sebagai salah satu pilar penyangga demokrasi layaknya media massa.

Hampir enam puluh lima tahun bangsa ini merdeka, meski kemerdekaan itu masih dipertanyakan eksistensinya, dua belas tahun sudah reformasi bergulir dan bersamaan dengan itu pula demokrasi dielu-elukan sebagai sesuatu yang luhur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Namun, perjuangan tak pernah usai. Penindasan dan perampasan hak terus berlanjut oleh mereka-mereka yang berkuasa. Akibatnya, mahasiswa sebagai suatu entitas menengah yang unik dan strategis dengan sendirinya telah memposisikan diri mereka sebagai penggugat. Kabar buruk bagi penguasa.

Demonstrasi atau demo, sebagai salah satu jalur untuk mengungkapkan aspirasi kepada penguasa, dipilih para mahasiswa sebagai suatu aksi perlawanan. Sejarah telah mencatat keberhasilan dan ketangguhan demonstrasi mahasiswa Indonesia. Di Jakarta, tahun 1998, kolaborasi antara mahasiswa berjaket kuning dengan berbagai elemen masyarakat berhasil menggulingkan rezim orde baru yang diangggap otoriter dan sarat bumbu-bumbu KKN. Saat itu, demonstrasi memperoleh momentum yang tepat. Tepat ketika rakyat ingin lepas dari tekanan dan ketertindasan, tepat ketika penguasa telah jelas-jelas menyimpang dari konstitusi, tepat karena jumlah massanya yang fantastis, dan tepat karena banyak rakyat yang menginginkannnya.

Akan tetapi, apa yang terjadi kini sungguh memilukan. Cita-cita mulia reformasi yang konon untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur enggan tercapai. Pemerintahan yang korup serta moral dan mental bangsa yang masih cengeng menghambat perwujudannya. Akibatnya, demonstrasi kini berevolusi menjadi suatu aksi anarkis, perjuangan yang mandul, yang cenderung mengaburkan esensi. Pengartian yang sempit dan pemaknaan yang tumpul semakin memperparahnya. Banyak kita temukan sekarang demonstrasi-demonstrasi yang hanya sekedar menghujat, mengkoar-koarkan tuntutan tanpa menengok lebih dalam latar belakang, bagaimana, dan seperti apa nantinya jika tuntutan itu dikabulkan. Belum lama ini, kita menyaksikan liarnya demonstrasi mahasiswa di penjuru Indonesia yang meminta agar SBY turun hingga kasus penyerangan markas HMI Makassar, apakah demonstrasi telah kehilangan makna dan perjuangannya?

Sungguh miris ketika demonstrasi yang ”katanya” jalur untuk menyampaikan aspirasi rakyat justru kini menjadi hantu bagi masyarakat itu sendiri. Aksi anarkis tanpa menghiraukan kepentingan publik digembar-gemborkan. Di sini, saya beranggapan bahwa demonstrasi mahasiswa kini telah jauh dari ketaatan hukum dan tujuan mulianya. Hal ini tentu saja mencoreng nama reformasi dan demokrasi. Ketika masyarakat, khususnya mahasiswa diberikan dan dilindungi haknya untuk berdemonstrasi, tak seharusnya mereka memanfaatkannya untuk sekedar mencari kehebohan, mengumbar emosi akibat profokasi. Dan ketika mereka berbicara tentang kepentingan rakyat, tak sepantasnya mereka bertingkah seenaknya, seakan mereka benar-benar menyuarakan suara rakyat padahal mereka hanya menuruti emosi dari suara-suara profokator belaka. Mahasiswa yang begitu bergeloranya semangat mereka, tentu saja harus berfikir dengan logika dan merasakan dengan hati apa-apa yang mereka kerjakan. Dan kini, sepertinya demonstrasi kehilangan sudah momentumnya.

Lalu apa dampak dari demonstrasi ”liar” mahasiswa ini? Tentu saja tersendatnya demokrasi. Mahasiswa yang seharusnya menggugat penguasa ketika penguasa tersebut menyimpang dari konstitusi dan mewakili rakyat untuk menyuarakan aspirasinya, kini malah diperangi oleh berbagai pihak termasuk rakyat sebagai subjek inspirasi aksi mereka. Demokrasi yang seharusnya dibangun dengan seimbang dari berbagai elemen masyarakat, kini timpang. Ketika mahasiswa diperangi dan eksistensinya tak dianggap positif oleh berbagai pihak, akankah suaranya didengar? Tentu tidak. Aksi mereka kini hanya dijadikan bahan tertawaan penguasa, polahnya kini hanya dianggap meresahkan masyarakat. Akibatnya, rakyat tak punya pengawal yang mengamankan posisi mereka, rakyat tak punya prajurit yang membela hak, kebutuhan, serta kepentingan mereka, dan rakyat tak punya pengeras suara untuk meneriaki penguasa yang mendzalimi mereka. Penguasa pesta pora, ”Power tend to corrupts, absolute power corrupts absolutely.”(Lord Acton, 1900).

Maka, di sinilah titik di mana mahasiswa harus melakukan introspeksi terhadap kinerjanya selama ini. Lembaga-lembaga yang mewadahinya pun harus melakukan setting ulang terhadap visi-misi, pola pikir, dan sistem kerjanya. Dan pada akhirnya, sudah seharusnya demonstrasi kembali ke tujuan awalnya yang mulia. Sudah seharusnya pula mahasiswa kembali mengawal demokrasi dengan setia. Dan jika suatu saat nanti Totalitas Perjuangan kembali harus bergema di antara barisan mahasiswa, semoga penyerunya meresapi maknanya dalam-dalam, mengekspresikannya dengan penuh kesadaran, dan memperjuangkannya dengan total. Hidup mahasiswa Indonesia!

”. . . Mereka dirampas haknya, tergusur dan lapar. Bunda relakan darah juang kami, untuk membebaskan rakyat . . .” (Darah Juang)


DAFTAR PUSTAKA

Tim Penyusun. 2007. LKS Pendidikan Kewarganegaraan SMA Kelas XI Semester 1. Surakarta : Penerbit Citra.

Tim Penyusun. 2008. LKS Pendidikan Kewarganegaraan SMA Kelas XII Semester 2. Surakarta : Penerbit Citra.

Muhari. S.Pd. 2006. Norma-norma yang Menjadi Pandangan Hidup Demokratis. Surakarta : Powerpoint Project.

http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi/1 April 2010.

http://dzulfian.myblogrepublika.com/index.php/tag/demokrasi/1 April 2010.

http://jangandiamsaja.blogspot.com/2009/04/menggugat-demonstrasi-mahasiswa.html/1 April 2010.

http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=8449/1 April 2010.

http://www.legalitas.org/proses/uu.php?k=1998&h=Undang-Undang/9 April 2010.

http://indonesia.ahrchk.net/news/mainfile.php/Constitution/22/9 April 2010.

http://arizka-giddens.blogspot.com/2008/09/demokrasi-ala-nurcholish-madjid.html/12 April 2010.

http://www.progresifjaya.com/NewsPage.php?judul=Pencetus%20Reformasi%20Bertanggung%20Jawab:%20Reformasi%20Demokrasi%20Ngawur%20dan%20Amburadul&kategori_tulisan=Headline/12 April 2010.

http://one.indoskripsi.com/node/11108/12 April 2010.

http://ilhamfadli.blogspot.com/2010/01/demonstrasi-dan-inti-demokrasi.html/12 April 2010.

http://johanrahmadan.blogspot.com/2009/02/unjuk-rasa-tu-legal-lho.html/12 April 2010.